Oleh: Heru Setyawan
Selain keinginan untuk menjadi universitas riset, yang pada akhirnya menuju WCU seperti diuraikan sebelumnya (disini), Kemenristek Dikti juga berkeinginan untuk mengembangkan program vokasi dan profesional. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja kita agar mampu bersaing dengan tenaga kerja dari terutama negara-negara ASEAN dengan telah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sejak tahun 2015. Satu permasalahan mengenai universitas riset belum selesai sekarang ditambah dengan permasalah lain yang menjadikan arah pendidikan tinggi di Indonesia menjadi kurang fokus. Hal ini disebabkan perguruan tinggi yang telah menyandang status PTN BH juga dibebani untuk mengemban tugas tersebut. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang galau untuk memilih model/sistem pendidikan tinggi yang cocok untuk diterapkan.
Melihat sejarah perkembangan pendidikan tinggi di dunia, universitas dan college modern sebagian besar dimulai dari institusi gereja yang diatur sendiri dengan fokus utama pada mendidik anggota pendeta dalam bidang seperti teologi dan hukum. Dari sini muncul beberapa model organisasi yang berbeda – beberapa fokus pada penelitian dan yang lain fokus pada pengajaran dan pelayanan. Pendorong dibelakang semua ini adalah pengakuan bahwa penelitian akademik sering mengungkap pendekatan baru untuk menyelesaikan tantangan praktis seperti cara untuk menumbuhkan bibit pertanian, untuk melebur logam, untuk membangun kendaraan bermotor, dan bahkan untuk mengemas dan mengirim bahan peledak. Dari sini terjadilah reformasi organisasi untuk meningkatkan produktivitas penelitian akademisi.
Pada tingkat institusi, ada tiga perbedaan sistem pendidikan tinggi yang menyolok di dunia: (i) model Inggris yang berorientasi pada pengajaran, (ii) model Jerman yang berorientasi penelitian dan model Amerika yang menekankan pada pelayanan. Menurut Ben-David (1977), model Jerman unggul dalam membesarkan penelitian dasar dan model Amerika menikmati keunggulan dalam penelitian terapan. Di Jerman ada kecenderungan untuk memberikan tanggung jawab semua penelitian dalam disiplin ilmu tertentu pada seorang profesor senior sendirian yang memimpin staf institut dengan sejumlah peneliti yunior. Di Amerika, universitas cenderung mendirikan departemen yang terdiri dari beberapa akademisi berpangkat sama yang mempelajari bidang umum. Di Perancis, organisasi yang terpisah didirikan untuk mengembangkan pengajaran (grandes ecoles) dan untuk mengembangkan penelitian (institute) dalam bidang yang ditugaskan.
Pendidikan tinggi di Indonesia terbilang relatif masih baru sehingga masih berusaha mencari bentuk yang sesuai. Indonesia meluncurkan sistem akademiknya sendiri meskipun cenderung melihat sistem inti untuk menyusun standar dan mendidik orang-orangnya. Sistem inti adalah sistem yang telah mapan sejak tahap awal sistem pendidikan tinggi modern.Sistem inti meliputi sistem Jerman, Perancis, Inggris dan Amerika. Dari pandangan yang lebih luas, sistem inti dapat diperluas ke Rusia, Spanyol dan Jepang. Sistem pendidikan tinggi Rusia memiliki pengaruh yang kuat pada negara-negara komunis, Spanyol pada negara-negara Amerika Latin dan sistem pendidikan tinggi Jepang pada pendidikan tinggi Asia Timur.
Selain sistem inti, ada dua sistem lagi yang dikenal berdasarkan stratifikasi sistem dunia, yaitu: sistem semi-inti dan sistem periphery (Shin dkk., 2014). Sistem semi-inti adalah sistem pendidikan tinggi yang mengambil gagasan universitas modern dari sistem inti, dan pendidikan tingginya pada hakekatnya sama dengan sistem inti. Sistem periphery adalah pengembangan sistem pendidikan tinggi dengan pengaruh dari sistem inti dan sistem semi-inti. Menurut tipologi ini, negara yang masuk dalam sistem inti diantaranya adalah Jerman, Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. Sistem semi-inti adalah Kanada, Australia, Korea, Italia, Norwegia, Belanda, Finlandia, Portugis dan Hongkong dan sistem periphery adalah Tiongkok, Meksiko, Brazilia, Argentina, Malaysia dan Afrika Selatan.
Sistem pendidikan tinggi inti menunjukkan orientasi penelitian yang tinggi tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan sistem pendidikan tinggi semi-inti. Meskipun rasio dosen yang bergelar doktor lebih besar dalam sistem inti, produktivitas penelitian yang diukur dengan publikasi dan presentasi konferensi internasional adalah lebih besar dalam sistem semi-inti dibandingkan dengan sistem inti. Fakta ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa sistem pendidikan tinggi semi-inti menekankan penelitian untuk mengejar sistem inti. Dibandingkan dengan sistem inti dan semi-inti, sistem periphery masih terfokus pada pengajaran dan rendah dalam produktivitas penelitian.
Sebenarnya apapun pilihannya tidak ada yang salah. Apakah ingin mengadopsi secara penuh suatu sistem yang sudah mapan atau dengan melakukan beberapa modifikasi dan penyesuaian yang khas Indonesia sebagai kearifan lokal. Yang penting adalah ada komitmen yang kuat dari segenap pemangku kepentingan, terutama pemerintah dan perguruan tinggi itu sendiri untuk secara terus menerus dan konsisten mengembangkan dan melaksanakan sistem yang telah dipilih dan ditetapkan. Sebagai contoh, yang khas hanya ada di Indonesia adalah adanya Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Unsur terakhir itulah yang khas di Indonesia, yang tidak ditemui di negara lain. Apabila hal itu dilaksanakan secara konsisten dan bersungguh-sungguh, sistem tersebut mungkin akan bisa mewarnai sistem pendidikan tinggi dunia dimana perguruan tinggi tidak boleh melupakan masyarakat disekitarnya dimana ia berada.
Pustaka
Ben-David, J. (1977). Centers of learning: Britain, France, Germany and the United States – New York: McGraw-Hill.
Shin, J. C., Arimoto, A., Cummings, W. K., dan Teichler, U. (2014). Teaching and Research in Contemporary Higher Education: Systems, Activities and Rewards, Dordrech: Springer.
3 replies on “Sistem pendidikan tinggi”
Prof. Heru, pemahaman saya terhadap tulisan diatas adalah bahwa sistem pendidikan tinggi Indonesia masih berorientasi pada materi. Saya berpendapat bahwa sistem pendidikan kita harus mengacu pada sistem pendidikan Islam, yaitu taklim, tarbiyah dan takdib, dengan tujuan akhir adalah pada hakekat penciptaaan manusia dimuka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah.
Alangkah lebih baik kita mengacu kepada sejarah Rasulullah membentuk lembaga pendidikan yang dinamakan Darul Arqam, selanjutnya mengacu kepada bagaimana sejarah Ibnu Sina dan ilmuwan Islam lainnya. Yang saya dapatkan dari sejarah itu adalah yang pertama dilakukan dalam pendidikan Islam adalah keimanan, lalu akhlaq, syariat, termasuk didalamnya muamalah, baru yang terakhir adalah pengetahuan umum. Saya mengambil makna adalah jiwa, niat, dan motivasi menuntuk ilmu serta mengamalkannya akan terbentuk dengan kuat bila keimanan telah terbentuk dengan kuat lebih dulu.
Wirawan Ciptonugroho Comments:
Dalam kenyataannya, sekarang Tiongkok dan Malaysia cukup produktif dlm penelitian, Pak Heru. China dlm banyak hal berhasil melampaui negara2 yg sudah mapan (walaupun masih ada bbrp persoalan). MalaYsia yg lbh dekat dgn Indonesia sudah jg sdh banyak mengalami perubahan dalam hal riset.