Categories
Articles

Kilang biomassa lignoselulosa dalam kerangka konsep bioekonomi

Oleh: Heru Setyawan

Pendahuluan

Akhir-akhir ini istilah bioekonomi mulai marak didengungkan dan diharapkan akan menjadi salah satu pilar ekonomi penting untuk generasi mendatang. Bioekonomi didefinisikan sebagai bagian dari ekonomi yang menggunakan sumberdaya terbarukan biologis untuk memproduksi pangan, makanan, bahan, kimia, dan energi (Wertz et al., 2018). Bioekonomi secara alamiah bersifat berputar karena karbon diambil dari atmosfir oleh tanaman. Setelah pemakaian dan pemakaian kembali produk dari tanaman tersebut, karbon dikembalikan lagi sebagai karbon tanah atau sebagai karbon atmosferik lagi (Gambar 1).

Gambar 1. Bioekonomi sebagai bagian dari ekonomi berputar.

Inti dari bioekonomi adalah kilang bio yang mengubah biomassa secara berkelanjutan menjadi pangan, makanan, bahan kimia, bahan, dan bioenergi (bahan bakar, panas dan daya) melalui gabungan pabrik kimia dan bioteknologi. Salah satu biomassa yang keberadaannya di Indonesia dalam jumlah yang sangat melimpah adalah biomassa lignoselulosa. Biomassa lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yakni: selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang membentuk dinding sel tanaman (Wertz et al., 2010). Dari ketiga senyawa tersebut, selulosa yang pertama kali diteliti, kira-kira 20 tahun lalu, yang menghasilkan bahan bakar bioetanol. Kemudian diikuti dengan penelitian pada hemiselulosa yang menghasilkan peningkatan nilai tambah gula 5 karbon (C5). Penelitian mengenai lignin baru mulai, dengan peningkatan pemahaman bahwa seluruh tanaman harus ditingkatkan nilainya dan tidak hanya fraksi selulosa dan hemiselulosanya.

Departemen Teknik Kimia (http://chem-eng.its.ac.id/), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) telah memulai untuk mengambil peran dalam isu bioekonomi ini dengan mengerjakan penelitian dan pengembangan untuk mengubah biomassa lignoselulosa menjadi bahan fungsional yang dapat diaplikasikan untuk berbagai keperluan. Dalam artikel ini, pembahasan hanya dibatasi pada hasil penelitian yang dilakukan oleh kelompok peneliti yang tergabung dalam Lab. Elektrokimia dan Korosi (http://elkimkor.com). Hasil yang sudah dicapai antara lain adalah pengembangan proses untuk mengolah sabut kelapa menjadi beberapa bahan maju fungsional seperti aerogel selulosa, nanoselulosa dan nanopartikel lignin. Uraian secara garis besar mengenai hal tersebut yang akan diuraikan dalam artikel ini.

Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera L.) dikenal sebagai pohon yang hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Akarnya dapat dipakai sebagai bahan baku zat pewarna. Batangnya, yang biasa disebut glugu, digunakan untuk membuat perabot rumah tangga, rumah dan penguat pada kerangka bangunan. Daunnya bisa untuk atap dan kerajinan tangan, dan lidinya untuk sapu. Bunganya bisa menghasilkan nira untuk minuman dan gula. Daging buahnya bisa digunakan untuk membuat santan dan minyak. Air buahnya bisa diminum, dijadikan cuka atau sebagai bahan baku nata decoco. Sabutnya sebagai sumber serat/serabut untuk berbagai penggunaan: tali tampar, keset, dan lain-lain. Tempurung kelapa, yang biasanya diubah menjadi arang untuk bahan bakar rumah tangga atau keperluan industri, bisa juga diproses menjadi kerajinan tangan yang bisa dijadikan sebagai oleh-oleh untuk wisatawan.

Kelapa dihasilkan dalam 92 negara di seluruh dunia pada lahan seluas kurang lebih 12 juta hektar, 85% diantaranya ada di kawasan Asia Pasifik dan di Indonesia sekitar 3,8 juta hektar (Mohan Jain & Priyadarshan, 2001). Indonesia, Filipina dan India menyumbang hampir 75% produksi kelapa dunia dengan Indonesia merupakan produsen terbesar. Perkebunan kelapa analog dengan perkebunan energi meskipun perkebunan kelapa juga sumber berbagai produk lain selain energi. Produksi kelapa saat ini memiliki potensi untuk menghasilkan listrik, panas, papanserat, pupuk organik, pakan hewan, aditif bahan bakar untuk energi bersih, pakan ternak ramah lingkungan, minuman sehat, dan lain-lain.

Buah kelapa terdiri dari 35% sabut (eksokarp dan mesopkarp), 12% tempurung (endokarp), 28% daging buah (endosperm) dan 25% air. Sabut dan tempurung kelapa adalah bahan bakar biomassa yang menarik dan juga merupakan sumber arang. Keuntungan utama menggunakan biomassa kelapa sebagai bahan bakar adalah bahwasanya kelapa merupakan tanaman permanen dan tersedia sepanjang tahun sehingga ada pasokan tetap sepanjang tahun. Karbon aktif yang dihasilkan dari tempurung kelapa dianggap sangat efektif untuk pemisahan pencemar dalam proses pengolahan air limbah.

Serabut kelapa

Serat sabut kelapa adalah bahan berserat yang diambil dari kulit luar (sabut) buah kelapa yang banyak tumbuh di negara tropis seperti Indonesia. Begitu diambil dari kelapa, sabut dapat digunakan secara langsung dalam produk, misalnya: dalam selimut pengendali erosi, atau dipintal menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi produk seperti matras. Sabut kelapa dianggap sebagai bahan limbah, termasuk di Indonesia, dan sering dipakai sebagai bahan bakar rumah tangga di pedesaan. Sabut kelapa juga menjadi komoditas ekspor, diantaranya ke China untuk bahan baku jok mobil dan matras dan ke Korea untuk pupuk kompos dalam media tanam, yang menyerap hampir 70% bahan dari kabupaten Banyuwangi (Merdeka.com). Selain itu, beberapa kabupaten seperti Tasikmalaya, Ciamis dan Pangandaran juga menyumbang ekspor sabut kelapa ini dalam jumlah yang besar (Inipasti.com).

Serat sabut kelapa berupa struktur seperti pipa panjang yang tersusun atas sel-sel. Struktur dasarnya terdiri atas rongga pusat atau “lumen” dan dikelilingi oleh dinding sel. Serat memiliki ruang pori-pori yang mengijinkan air melewatinya. Ciri ini memainkan peran penting dalam kekuatan akhir dan umur serat sabut kelapa. Sifat fisika dan kimia serat sabut kelapa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisika dan kimia serat sabut kelapa.*

ParameterSatuanNilai
Selulosa%35-45
Hemiselulosa%0,3-2,5
Lignin%45-46
Panjang seratmm0,3-1,0
Lebar seratmm0,100-0,450
Kekuatan tarikMPa106-70
Modulus YoungGPa3,0-6,0
Pemoloran sampai rusak%15,0-47,0
*Data dari Bhatia & Smith (2008).

Dinding sel terutama terdiri atas selulosa dan hemiselulosa, yang merupakan polimer berbasis gula, dan lignin. Lignin tahan terhadap proses mikroorganisme dan serangan anaerobik, tidak seperti selulosa dan hemiselulosa, yang mengijinkannya terurai secara perlahan-lahan dalam kondisi aerobik (Bhatia & Smith, 2008). Lignin, digabung dengan hemiselulosa, adalah semen alam dalam memperkuat serat lignoselulosa sementara menjaga fleksibilitasnya. Serat juga mengandung beberapa senyawa seperti pektin, lemak dan lilin.

Serat sabut kelapa merupakan bahan ringan yang dapat meningkatkan nilai tambah, murah, dan berkelanjutan. Serat ini mampu menyerap air dan terurai dalam waktu yang pendek yang menguntungkan untuk aplikasi seperti pengendalian erosi dan filtrasi. Mereka juga menyerap kelembaban ketika terpapar ke udara lembab atau terendam di air. Mereka dapat membengkak dan menyusut karena dinding selnya mengandung gugus hidroksil dan gugus lain yang mengandung oksigen yang menarik air melalui ikatan hidrogen (Wertz et al., 2010). Serat sabut kelapa juga dapat dimodifikasi secara kimia untuk memperbaiki sifatnya, misalnya: meningkatkan stabilitas ukurannya, kekuatannya dan ketahanan biologisnya.

Tempurung kelapa

Tempurung kelapa merupakan bagian keras setebal 3-5 mm yang melindungi daging buah kelapa yang tertutup oleh sabut di bagian luarnya. Dalam banyak negara, termasuk di beberapa daerah di Indonesia, tempurung kelapa dibakar secara terbuka yang menyumbang secara signifikan emisi CO2 dan metana. Analisa proksimat tempurung kelapa ditunjukkan pada Tabel 2. Dengan kadar karbon yang tinggi, tempurung kelapa banyak dipakai sebagai bahan baku untuk membuat arang. Arang tempurung kelapa umumnya mengandung abu yang rendah (~6%) dan nilai kalor yang tinggi (~6700 kkal/kg).

Tabel 2. Analisis proksimat tempurung kelapa.

ParameterKomposisi (% berat)
Kadar air  7,55
Bahan menguap  2,82
Abu  1,32
Karbon tetap88,31

Aerogel selulosa dari sabut kelapa

Salah satu produk yang telah kami kembangkan dari serat sabut kelapa adalah aerogel selulosa (Gambar 2) yang dapat dibiodegradasi (Fauziyah et al., 2019). Proses untuk memproduksi aerogel selulosa adalah proses ramah lingkungan yang bebas belerang menggunakan sistem NaOH-urea sebagai pelarut selulosa. Aerogel adalah bahan yang sangat berpori dengan sifat yang luar biasa, misalnya: sangat ringan, ukuran pori-pori kecil (1-50 nm), luas permukaan yang sangat tinggi dan daya adsorpsi yang sangat kuat. Dengan sifat yang menarik tersebut, aerogel memiliki potensi aplikasi yang sangat luas yang merentang dari kerangka pertumbuhan tulang dan matriks untuk pelepasan obat terkendali sampai penyerap gas, penghalang nyala dan bahan isolasi panas.

Gambar 2. Aerogel selulosa: citra SEM (kiri) dan foto di atas daun dimana daun mampu menahan tanpa melengkung karena beratnya yang sangat ringan (kanan).

Diharapkan dalam pembuatannya tidak banyak bahan sabut kelapa yang terbuang termasuk lignin. Akan tetapi ternyata keberadaan lignin menyebabkan aerogel yang terbentuk bersifat kaku dan tidak elastis. Oleh sebab itu, sampai seberapa kadar lignin tertinggi yang masih menghasilkan aerogel selulosa dengan sifat yang dapat diterima untuk berbagai aplikasi dicari terlebih dahulu. Didapatkan bahwa sifat fisika aerogel selulosa yang baik diperoleh ketika bilangan Kappa, yang mewakili kadar lignin, dalam pulp lebih rendah daripada 14,8. NaOH–urea memainkan peran penting dalam mentransformasi selulosa I menjadi selulosa II dan menyambung silang selulosa untuk membentuk struktur aerogel. Aerogel memiliki struktur makropori, densitas ultra-ringan, porositas tinggi, durabilitas dan stabilitas panas bagus. Aerogel mampu menyerap air sebanyak 22 kali berat keringnya dan minyak 18 kalinya. Bahan ini juga memiliki kapasitas penyerapan yang sangat tinggi untuk pewarna metilena biru (MB) sampai 62 g/g, yang mana adalah 100 kali lebih tinggi daripada kapasitas adsorben yang dibuat dari bahan alam lain. Gambar 3 menunjukkan larutan MB awal dan setelah diolah dengan aerogel selulosa dimana warna larutan berubah dari biru tua menjadi jernih. Jadi, tampak bahwa aerogel selulosa ini memiliki potensi untuk berbagai aplikasi.

Gambar 3. Larutan MB sebelum diolah (biru tua) dan setelah diolah dengan aerogel selulosa (jernih).

Sifat permukaan aerogel selulosa yang banyak mengandung gugus hidroksil memungkinkannya untuk dimodifikasi sehingga memiliki sifat tertentu. Di atas ditunjukkan bahwa aerogel selulosa mampu menyerap air dengan kapasitas yang tinggi. Apabila permukaan aerogel selulosa ini dimodifikasi sehingga berubah dari hidrofil menjadi hidrofob (olefil), bahan ini memiliki peluang untuk dipakai sebagai pembersih tumpahan minyak. Kami menggunakan tetrametil khlorosilan (TMCS) dan hidroksimetildisilasan (HMDS), permukaan aerogel untuk memodifikasi permukaan aerogel selulosa menjadi hidrofob (oleofil). Aerogel yang sudah dimodifikas ini mampu menyerap minyak dalam campuran minyak-air tanpa sedikitpun air yang ikut terserap (Gambar 4). Dengan sifatnya tersebut aerogel selulosa ini bisa dipakai sebagai bahan ramah lingkungan dan biodegradabel untuk membersihkan tumpahan minyak di laut.

Gambar 4. Aerogel selosa hidrofob (oleofil) dalam campuran minyak air yang menunjukkan hanya minyak saja yang terserap.

Selulosa dapat diubah menjadi karbon dengan proses pirolisis. Dengan mengatur kondisi pirolisis yang tepat, struktur aerogel selulosa dapat dipertahankan untuk memperoleh aerogel karbon. Aerogel karbon ini dapat dimodifikasi lebih lanjut untuk berbagai aplikasi. Salah satunya adalah dengan mencangkokkan gugus sulfonat ke permukaannya sehingga permukaan berubah menjadi asam. Dengan cara itu, aerogel karbon dapat berperan sebagai katalis asam padat, yang salah satu contohnya, bisa dipakai untuk mengkatalisa reaksi esterifikasi (baca di sini). Karena reaksi esterifikasi menghasilkan air, katalis yang bersifat hidrofob (Gambar 5) menunjukkan kinerja yang lebih baik karena air yang terbentuk dengan segera ditolak oleh permukaan katalis sehingga reaksi dapat bergeser ke kanan (ke arah produk).

Gambar 5. Katalis asam padat yang mengambang di air dan bulatan air di atas permukaan katalis yang menunjukkan sifat hidrofob katalis.

Beberapa aplikasi lain sedang dikembangkan yang meliputi: aerogel karbon didoping nitrogen untuk elektrokatalis reaksi reduksi oksigen, hidrogel untuk sistem pembangkit steam sinar matahari, dan lain-lain.

Lignin dari serabut kelapa

Dalam pembuatan aerogel selulosa dari sabut kelapa, kadar lignin harus dikurangi terlebih dahulu untuk membuat pulp selulosa. Penghilangan lignin ini dilakukan denan dua cara: mekanis dan kimia dengan memasak dengan larutan NaOH. Hasil pemasakan ini adalah berupa Na-lignin yang larut dalam air. Dengan menambahkan asam, lignin bisa dipresipitasi menghasilkan nanolignin yang dapat diaplikasikan untuk berbagai keperluan seperti komestik (anti sinar UV), dan jika dikarbonisasi bisa sebagai bahan elektroda superkapasitor atau elektrokatalis. Penelitian mengenai hal ini sedang berlangsung di Laboratorium Elektrokimia dan Korosi, Departemen Teknik Kimia ITS.

Arang tempurung kelapa

Mulai dari arang tempurung kelapa, berbagai bahan karbon fungssional berhasil dibuat, antara lain: grafit dan grafena. Proses tekanan dan suhu rendah berhasil dikembangkan untuk mengubah arang tempurung menjadi grafit (tekanan atmosferik dan suhu < 1000oC). Grafit ini setelah disulfonasi bisa digunakan sebagai katalis untuk reaksi esterifikasi (baca di sini). Selain itu, menggunakan proses Hummer termodifidikasi, arang tempurung kelapa berhasil diubah menjadi grafena yang dapat diaplikasikan sebagai bahan elektroda superkapasitor (baca di sini).

Rangkuman

Konsep bioekonomi yang pada dasarnya berupa kilang bio yang mengubah biomassa secara berkelanjutan menjadi pangan, makanan, bahan kimia, bahan, dan bioenergi (bahan bakar, panas dan daya) melalui gabungan pabrik kimia dan bioteknologi dengan mengambil contoh limbah perkebunan kelapa telah diberikan. Pengolahan sabut kelapa yang diuraikan di atas hampir tidak menyisakan limbah dimana selolusa, hemiselulosa dan sebagian lignin diubah menjadi aerogel selulosa dan lignin yang terlarut dalam proses delignifikasi diubah menjadi nanolignin atau nanokarbon. Indonesia, sebagai negara yang masih memiliki banyak sumber biomassa harus mulai berperan aktif untuk bisa mewujudkan bioekonomi yang diharapkan akan menjadi salah satu pilar ekonomi penting untuk generasi mendatang. Selain kelapa, Indonesia juga memiliki sawit dan tanaman hutan yang lain yang bila dikelola dengan baik akan mampu mengurangi ketergantungan secara signifikan pada sumber daya alam fosil melalui kilang bio.

Laboratorium kami telah memulai gagasan ini dengan mengembangkan proses untuk menunjang kilang bio selulosa dan lignin. Sumber lignoselulosa di Indonesia tersedia dalam jumlah yang melimpah dan bisa menjadi sumber berbagai bahan maju, kimia, pangan, makanan dan energi.

Pustaka

Bhatia, S. K., Smith, J. L., Bridging the Gap between Engineering and the Global World, Morgan & Claypol, Kerala, 2008.

Wertz, J. L., Deleu, M., Coppee, S., Richel, A., Hemicelluloses and Lignin in Biorefineries, CRC Press, New York, 2018.

Advertisement

By Lab Elkimkor

We belong to the Department of Chemical Engineering, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia.

2 replies on “Kilang biomassa lignoselulosa dalam kerangka konsep bioekonomi”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s