Kemarin (Senin, 28/6/2021) saya mengikuti Webinar yang diselenggarakan oleh Direkorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian ESDM dan Asian Development Bank (ADB) tentang pengembangan hidrogen dan langkah berikutnya – Indonesia. Tujuan Webinar adalah untuk mendiskusikan: (i) penjelasan umum H2 (warna H2); (ii) pasar hidrogen saat ini dan masa depan; (iii) pasar hidrogen potensial Indonesia dan aspek ekonominya; (iv) perkembangan teknologi hidrogen; (v) pelajaran dari berbagai negara; dan (vi) langkah berikutnya pengembangan H2 Indonesia. Pembicara dalam Webinar berasal dari Kementerian ESDM dan BPPT, perusahaan energi baru terbarukan (GIZ, HDF, dan Shearman & Sterling), dan ADB.
Seperti yang telah kami ulas sebelumnya (disini), beberapa tahun terakhir banyak negara sedang berupaya untuk mengantisipasi semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil. Salah satu calon yang dipandang menjanjikan adalah hidrogen, yang tentu saja, energi yang dibutuhkan untuk mendapatkannya tidak boleh dipasok dari bahan bakar fosil. Selain itu, bahan baku juga perlu beralih ke sumber energi terbarukan yang tersedia melimpah dan menyebabkan dampak lingkungan sekecil mungkin. Hidrogen seperti ini sering disebut sebagai “hidrogen hijau“.
Beberapa pembicara menyampaikan, berdasarkan pada laporan Hydrogen Council dalam McKinsey “Hydrogen insights report 2021”, kurang lebih ada 228 proyek hidrogen yang telah diumumkan di seluruh dunia. Proyek terbanyak ada di Eropa dengan jumlah 126 proyek, diikuti Asia 46 proyek, Oseania 24 proyek, Amerika Utara 19 proyek, Timur Tengah dan Afrika 8 proyek dan Amerika Latin 5 proyek. Proyek yang dikerjakan dapat dikelompokkan menjadi lima sektor besar: (i) produksi skala giga (17 proyek), (ii) pemakaian industri skala besar (90), (iii) transportasi (53), (iv) ekonomi H2 terpadu (45), dan (v) proyek infrastruktur (23).
Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun sudah ada wacana ke arah sana, kebijakan yang jelas mengenai energi hijau hidrogen belum mendapatkan perhatian yang memadai. ADB, melihat potensi yang ada di Tangguh, mencoba membuat skenario jika gas alam di Tangguh menipis dan menjadi tidak menguntungkan. Skenario dibuat dengan mengacu pada kasus gas alam-ke-H2 Brunei untuk ekspor ke Jepang. Dalam hal ini, Sarawak Energy Bhd. mendukung Brunei dengan menambahkan H2 hijau dari surplus luaran pembangkit hidro Sarawak. Sementara di Tangguh tersedia 1000 Ha yang cukup untuk 500 MW solar PV, desalinasi, elektroliser, dsb. Kapasitas daya dapat dinaikkan 5x menjadi 2500 MW tanpa mengganggu lalu lintas laut dan pamakaian lain. Dengan daya ini, dapat diproduksi hidrogen sebesar 70.000 ton/tahun. Dengan harga H2 sebesar $2000/ton, akan dihasilkan $140 juta/tahun. Jika gas alam di Tangguh tidak lagi menguntungkan, pemrosesan di darat dapat dimodifikasi untuk mencairkan H2, dan/atau mengubah H2 menjadi amoniak dan metanol untuk ekspor menggunakan pelabuhan dan infrastruktur lain yang tidak berharga dan terdepresiasi.
Dari berbagai paparan yang diberikan, seperti disebutkan di atas, H2 hijau harus dihasilkan dari sumber selain bahan bakar fosil. Seperti diketahui, teknologi produksi hidrogen yang sudah mapan saat ini adalah teknologi reformasi kukus suhu tinggi dari gas alam (disini). Dalam teknologi ini, baik sumber hidrogen maupun sumber panasnya adalah gas alam. Agar bisa disebut sebagai H2 hijau, sumber energi yang digunakan tidak boleh berupa bahan bakar fosil. Saat ini yang dipandang paling potensial adalah energi matahari dan angin, yang diubah menjadi energi listrik, yang selanjutnya dipakai untuk memecah air menjadi hidrogen dalam elektroliser (disini dan disini). Elektroliser komersial yang tersedia secara komersial adalah elektroliser basa dan elektroliser proton-exchange membrane (PEM).
Kembali pertanyaan bagaimana dengan Indonesia dalam mengantisipasi perkembangan H2 hijau ini? Apakah Indonesia memerlukannya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita lihat beberapa kebijakan Indonesia tentang energi. Dalam arah dan strategi bidang energi, salah satunya disebutkan bahwa Indonesia akan menghentikan LPG dan mengimpor bahan bakar sampai 2030. Kemudian dalam rencana kelistrikan 2021-2030, energi terbarukan menggantikan paling sedikit 48%. Meskipun tidak disebutkan secara jelas, tampaknya hidrogen hijau menjadi salah satu sumber energi yang akan dipertimbangkan.
Jika ya, menurut Jean-Louis Naves dari Shearman & Sterling, Indonesia harus mulai memikirkan penyusunan strategi dan visi hidrogen nasional dengan langkah: (i) mengembangkan dokumen visi, (ii) mengembangkan peta jalan untuk visi, dan (iii) mendefinisikan strategi. Visi dan strategi yang dikembangkan harus mempertimbangkan sumber teknologi yang paling sesuai untuk setiap aplikasi dalam konteks di Indonesia. Tindakan dan garis waktu dengan target harus jelas. Untuk mempercepat ketercapaiannya, kolaborasi dengan mitra internasional (mis.: Jepang, Korea, Uni Eropa) bisa dilakukan. Setelah itu dilanjutkan dengan mengimplementasikan strategi yang telah disusun.
One reply on “Pengembangan hidrogen dan langkah berikutnya – Indonesia”
[…] terbarukan dari angin atau sinar matahari melalui elektrolisis (baca disini, disini, disini dan disini). Akan tetapi, hidrogen”abu-abu” dari bahan bakar fosil saat ini masih merupakan bahan […]